Minggu, 21 Desember 2008

PROF. RESINK: PERUNTUH MITOS PENJAJAHAN 350 TAHUN

Prof, Mr. G. J. Resink meninggal di Jakarta September 1997 lalu. Gertrudesa Johan Resink lahir tahun 1911 di Yogyakarta dari keluarga keturunan Belanda dan Jawa. Ibunya mendorong agar ia tidak hanya belajar bahasa dan musik Eropa tetapi juga bahasa dan musik tanah kelahirannya. Berbeda dengan kebanyakan pemuda indo lainnya, ia tidak pergi ke Belanda tetapi belajar di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Tahun 1947 ia diangkat sebagai Guru Besar Hukum Tatanegara. Setelah penyerahan kedaulatan tahun 1949, Resink memilih kewarganegaraan Indonesia yang tetap dipertahankan dengan segala konsekuensinya sebagai warga keturunan Belanda terutama pada masa konflik Indonesia-Belanda yang meruncing dalam masalah Irian Barat (Jaya).

Tahun 1950 ia menjadi guru besar dalam sejarah modern dan sejarah diplomasi Indonesia, selain mengajar mata kuliah Hukum Internasional di Universitas Indonesia (UI). Pada tahun 1957 ia dibebaskan dari tugas mengajar agar dapat memusatkan perhatian kepada penelitian/penulisan dan secara resmi tahun 1962 ia menjadi guru besar dengan tugas meneliti.

Dalam dunia sastra Belanda, Resink juga dikenal sebagai penyair. Beberapa puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dan Indonesia. Ia berhubungan erat dengan kesusasteraan Indonesia sejak zaman Pujangga Baru dan Angkatan 45. Resink kenal STA [Sutan Takdir Alisyahbana], Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Pram [Pramoedya Ananta Toer]. Selain itu, Resink juga tertarik kepada karya pengarang Inggris terkenal keturunan Polandia Joseph Conrad (1857-1924) yang pernah berlayar di perairan Nusantara dan kemudian menuangkan pengalamannya itu dalam novel dengan tokoh-tokoh dari Kalimantan dan lain alin. Profesor yang lajang sampai akhir hayatnya ini juga memperhatikan seniman dunia asal Prancis, Claude Debussy (1962-1918) yang memperkenalkan nada-nada musik Jawa dalam komposisi musiknya.

Dari sekitar seratus artikel, buku, puisi dan resensi yang ditulis oleh Resink yang menonjol di antaranya adalah kumpulan enam tulisan yang berjudul Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910. berdasarkan studi hukum internasional, Resink membuktikan bahwa sebenarnya Belanda tidak menjajah negeri ini selama 350 tahun, apabila yang dimaksudkan seluruh Kepulauan Indonesia. Tidak benar apa yang sering dikatakan orang sebagai ramalan Jayabaya bahwa orang berkulit putih menguasai persada selama 3,5 abad. Tahun 1854 Menteri Urusan Koloni mengatakan kepada Parlemen Belanda bahwa di Kepulauan Indonesia masih ada negeri-negeri merdeka, meskipun jumlahnya ”sangat sedikit”. Istilah ”sangat sedikit” itu ditentang oleh A.B. Lapian yang menulis ”Kata Pengantar” pada buku klasik tersebut. Kenyataan bahwa cukup banyak negeri-negeri di Sumatera dan di Indonesia bagian Timur yang masih merdeka. Di samping itu Resink mengacu kepada beberapa kasus pengadilan, di mana hakim dan Mahkamah Agung (Hindia Belanda) berkesimpulan bahwa mereka tidak mempunyai wewenang mengadilli perkara karena yang bersangkutan bukan dianggap penduduk Hindia Belanda melainkan merupakan rakyat kerajaan atau negeri pribumi yang masih merdekaa, misalnya dalam perkara seorang Kutai yang dibawa ke pengadilan Surabaya tahun 1904 yang ditolak oleh mahkamah Agung. Begitu pula dengan perdagangan budak yang sudah dilarang di wilayah Hindia Belanda abad ke-19, namun pengadilan kolonial di makassar tidak dapat berbuat apap-apa karena kasus tersebut terjadi di wilayah Mandar yang terletak di luar kekuasaan Hindia Belanda.

Apa yang dikemukakan oleh Oom Han (Oman), demikian Dr. Abdurachman Surjomihardjo memanggil Resink, sebetulnya upaya denga pikiran yang jernih untuk keluar dari suasana yang bertentangan pada tahun 1950-1960, yakni pertentangan antara dua mitos (sejarah kolonial dan sejarah nasional) yang ketika itu muncul dalam bentuk dan isi penulisan sejarah dengan patriotisme yang berlebihan (yang menjuruh ke arah chauvinistik).

Tanggal 10 November 1996, Resink diangkat sebagai anggota kehormatan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia), bersama-sama dengan Dr. AH. Nasution, Dr. Anak Agung Gde Agung, Prof. Ali Hasymi, penganugerahan penghargaan itu mengatakan bahwa Resink antara lain ”mengingatkan jangan sampai pencarian landasan sejarah yang bercorak nasional, yang sedang gencar dilancarkan oleh M. Yamin, tergelincir kepada penciptaan mitos baru, yang malah bisa bercorak ”kedaerahan”. Namun menurut Taufik Abdullah, ”jasa Prof. Resink yang terpenting adalah dalam lapangan metodologi sejarah. Ia memperkenalkan pendekatan hukum internasional dalam menelaah sejarah kolonialisme... Dari penelitian ia sampai kepada kesimpulan bahwa kekuasaan Belanda yang dikatakan selama 350 tahun di Kepulauan Indonesia sebenarnya tak lebih dari mitos politik belaka yang tak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah”. Lebih lanjut Ketua Umum MSI periode 1996-2001 dan 2001-2006 ini mengatakan bahwa ”implikasi dari mitos Belanda bercokol 350 tahun itu adalah bahwa begitu pelaut dan pedagang avonturir Cornelis de Houtman mendarat di Banten, dengan serta merta Kepulauan Indonesia jatuh ke bawah kekuasaannya.” Yang menjadi pertanyaan mengapa hal tersebut masih tertulis dalam buku-buku sejarah di sekolah dan sering disebut dalam pidato-pidato? (Asvi Warman Adham)

.: dinukil dari buku Seabad Kontroversi Sejarah: 2007, p. 9-13 :.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar